tag:blogger.com,1999:blog-43883904310611040892024-03-08T01:27:25.061-08:00Komunitas Gunung KarangKaTa-KaTahttp://www.blogger.com/profile/02582903641075657543noreply@blogger.comBlogger2125tag:blogger.com,1999:blog-4388390431061104089.post-75174368433170646452007-11-01T04:28:00.000-07:002007-11-01T04:37:28.106-07:00Gubuk PuisiSAJAK-SAJAK AHMAD SYAM‘ANI<br /><br />Desa Yang Kehilangan WarnaTirai jarak pandanggerakgerik hidupcercah cahaya meteor penuntun dimanamanausia zaman paceklikrambah pungguk ilalang, pohon meringisrambah embun bukit belerangrambah gemercik riak sungaisungairambah segara ombakkarenapohon ilalang berkecambah bukitbukitaurmata ikanikan tak kecuapsungai sumringah kehilangan wajahnyaombak robek karangkarangnyaolehbarabara kebugilanapiapi bumi koyakasapasap legam dahagakatakata, nama tinggal nisan<br /><br />Bandung, 16-08-2005<br /><br />Zikir Tsunami<br /><br />Zikir tsuinami karya ombak, bedah maha lautankayukayu dan batusapumukimanorangorang jadi sarapan pagi ikanikanyang datang mengejar beribu katacakar segala sendiyang ia jamahZikir tsunami gulungan ombak junjung daratanparuparu alambedah perahubedah pohonanbedah kebugilan sejatibedah aneka mukimannamanama yang tertera digang basahZikir tsunami nyata didaftar isidi Bab I hingga terakhirdikeberadaan sunyiisaksi bisu Desember kelabunisan pancang bumiabadi dihati karangberlumut waktu.<br /><br />Bandung, Desember 2004<br /><br />Birahiku Tinggal Sepertiga<br /><br />Benang langit layang, lata angkasasuntuk datanggeliat ranjangranjang bugillepas haru kehangatandisetiap musim rindulapal pesta pentaspuisiberkecambahmenaripanggung sepuhbayangbayang jauhhariditelanjangkandanaudanau renta seusiamenyatubumi pasrahbirahi tinggal kenangan.<br /><br />Bandung, 6 Oktober 2005<br /><br />Sketsa Rumah Ilalang<br /><br />Tanah bonglar dendam hidupberpuluh<br />jejak jadi hutan sandiwarasejauh mata meman<br />dan<br />ggeliat alamtumpah sesaljadi buas, jadi santapan liar mesin<br />mesinIlalang. Bukit telanjang getirtanahtanah pijak<br />melukasarangsarang dukaseka air telagatanah merah<br />toreh luka, toreg dukatanpa sapabara asap rajam<br />tulangtulangserapah melangitnadir puisi, syair lelatu<br />duniacambuk generasidisajadahMuairmata kemanamana.<br /><br />Bandung, Agustus 2006<br /><br />Sebabak Panggung Opera<br /><br />Tak lagi aroma debur<br />ombakbisik celoteh<br />badaijamah dinding karanggerutu<br />aroma bangkaisengit<br />cerutu Senopatimelangit ganggang heladaksimpan<br />keberadaan sunyinyaudara, Adam senyumlaut<br />gelisahdoadoa darahdengan segala kutuknya, melangittak<br />lebih dari pengindah.<br /><br />Bandung, 2006-2007<br /><br />Tentang Penulis<br />Ahmad Syam'ani, Lahir di Banjarmasin, 14 Februari 1958. Alumnus FISIP UNLAM Banjarmasin.Beberapa karyanya di publikasikan media cetak/elektronik : Dahaga Banjarmasin Post (1980), Dinamika Berita Banjarmasin (1983), Buletin Forum Sastra Kita Subang (2004) dan BuletinRumah Sastra Bandung (2005-2006). Antologi Penyair Banjarmasin Post "Sebuah Kenang-Kenangan"oleh Tajuddin Noor Ganie (1981), Sketsa Penyair Berbaga Angkatan (Kal-Sel) oleh Maman S. Tawie,Antologi Puisi Penyair Nusantara. 142 Penyair Menuju Bulan oleh Arsyad Indradi (2006). Radio RRINusantara III Banjarmasin (1980), Radio Pelangi/Venus FM Subang (Cakrawala Remaja/Pujangga danDiary Side, 1999), Radio Kharisma FM Ciater Subang (Pesona Kharisma, 2000), Radio Partisan Siliwangi Subang (2001), Radio Elba FM Tambakan Subang (2003), Radio Delta FM Bandung (2005-2006).Juara ke II Lomba Menulis Puisi HUT Kemerdekaan RI, 2000 (Radio Kharisma FM Ciater Subang). Pernah jadi Ketua/Bendahara Forum Sastra Venus/Pujangga Venus/Sastra Kita (Subang, 30 Juni 2003), Bendahara Forum Sastra Pojok (Bandung, 15 Januari 2005), & Ketua/Bendahara Rumah Sastra (Bandung, 1 Januari 2006). Aktivitasnya sekarang bekerja di SOA PT. Bank Central Asia KanwilI Asia Afrika Bandung. Berdomisili di Jl. Bukit Jarian No. 42 RT.01/RW.11 Ciumbuleuit Bandung 40141HP. 081320142587. Email : <a href="mailto:bungsyam14f_1958@plasa.co.id">bungsyam14f_1958@plasa.co.id</a>.<br /><br /><br /><br /><br /><br />SAJAK-SAJAK DIMAS ARIKA MIHADRJA<br />Jln. Senggama 48<br />: malam ke sekian<br /><br />sejumlah alamat telah kucatat<br />sajadah menghampar basah<br />geliat warna sofa merah berbunga indah<br />geriap senyap merayap antara sendi dan sprei<br />saling melumat rekaat: berbagi desah<br />menjelang tamat<br /><br />kupacu malamku menuju sebuah subuh<br />yang melenguh. kubawa berita basah: peta,<br />pena, paket parfum<br />rasa<br />bunga<br /><br />pada malam ke sekian<br />tiktok jam<br />pendingin ruang<br />saling tikam. ada yang tergantung<br />pada gerak pendulum:<br />embun netes basuh daun<br /><br />bengkel puisi swadaya mandiri, 2007-03-30<br /><br />Jogja, Kembali Pulang<br />: teringat sosok simbok<br /><br />pulang kampung<br />orangorang berselimut sarung<br />langit mendung:<br />hatinya suwung<br />butirbutir pasir parang tritis<br />iklan baris yang meringis<br />lidah air parang kusumo<br />mantra mbah kromo<br />teriak becak di malioboro<br />sajak terkoyak<br />(kulonprogo seperti sawah musim ketigo<br />gerabah bantul pecah<br />sleman demam berat<br />gunung kidul tetap makan thiwul<br />kota jogja lukaluka)<br />jogja adalah simbok yang terkapar di lincak:<br />kepalanya puyeng dan dadanya sesak<br /><br />jogja, Juli 2006<br /><br />Silhuet<br />: lanskap senja<br /><br />katakata mengarus dan berpusar<br />mengalirkan silhuet dan lanskap hidup<br />penuh warna:<br />mata berkacakaca<br /><br />terasa ada yang lepas dari jemari<br />meluncur ke angkasa<br />dan hati tersileti:<br />nyeri<br /><br />relief dan pahatan begitu tegas<br />kaligrafi dinding hari:<br />puisi<br /><br />bengkel puisi swadaya mandiri, 2007-03-30<br /><br />Dinding Waktu<br />: instalasi diri<br /><br />dinding kolam taman bocor<br />airnya rembes ke manamana:<br />kutampung airmata<br />duka<br /><br />dinding raga mengendor<br />tiangtiangnya gemeretak berderak:<br />kutampung gempa<br />dada<br /><br />dinding jiwa kotor<br />air meruah sepanjang koridor:<br />kutabung dan kutampung dosa<br />semesta<br /><br />dinding waktu longsor<br />geriapnya memeluk siapa saja:<br />tiktok-nya berdentang<br />di jiwa lengang<br /><br />bengkel puisi swadaya mandiri, 2007-03-31<br /><br />Kamboja Merah<br />: kabar dari makam<br /><br />kutanam kamboja merah di taman<br />pada sebuah vas terbuat dari tanah amanah<br />akar menyangga batang bergetah putih<br />setiap saat kurawat dan kupupuk:<br />angin singgah di pelupuk<br /><br />kutanam kamboja merah di makam<br />batangnya ditumbuhi ranting<br />bercabang ke barat, kiblat<br />memanjang ke timur, umur<br />rantingnya kian mengering:<br />angin membentak nyaring<br /><br />kutanam kamboja merah di ke dalaman dada<br />di ujung ranting, daundaun mengembun<br />lembar demi lembar menguning<br />tiap saat disunting matahari:<br />jasad mengering<br />bengkel puisi swadaya mandiri, 2007-03-31<br /><br />Tahajud Ilalang<br />: lanskap 99 nama<br /><br />setiap pagi dan petang, ilalang bergoyang<br />inna shalati wa nusuki...<br />rakaat demi rekaat merayap<br />di dinding rumah:<br />alifku rebah<br /><br />siang merajut sujud<br />malam merenda kalam<br />iqra bismirobikaladzi ...<br />setiap saat kubacabaca 99 nama:<br />jemariku letih<br />ilalang di belakang rumah<br />tak lelah<br />ibadah<br /><br />bengkel puisi swadaya mandiri, 2007-03-31<br /><br />Tentang Penulis<br /><br />Dimas Arika Mihardja adalah pseudonim Sudaryono, lahir di Jogjakarta 3 Juli 1959. Tahun 1985 hijrah ke Jambi menjadi dosen di Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni FKIP Universitas Jambi. Gelar Doktor diraihnya 2002 dengan disertasi “Pasemon dalam Wacana Puisi Indonesia” (telah dibukukan oleh Kelompok Studi Penulisan, 2003). Sajak-sajaknya terangkum dalam antologi tunggal seperti Sang Guru Sejati (Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, 1991), Malin Kundang (Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, 1993), Upacara Gerimis (Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, 1994), Potret Diri (Bengkel Puisi Swadaya Mandiri,1997), dan Ketika Jarum Jam Leleh dan Lelah Berdetak (Bengkel Puisi Swadaya Mandiri danTelanai Printing Graft, 2003). Sajak-sajaknya juga dipublikasikan oleh media massa lokal Sumatera: Jambi, Padang, Palembang, Lampung, Riau, dan Medan; media massa di Jawa: surabaya, Malang, Semarang, Jogja, Bandung, dan Jakarta. Antologi puisi bersama antara lain Riak-riak Batanghari (Teater Bohemian, 1988), Nyanyian Kafilah (Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, 1991), Prosesi (Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, 1992), Percik Pesona 1 & 2 (Taman Budaya Jambi, 1992, 1993), Serambi 1,2,3 (Teater Bohemian, 1991, 1992, 1993), Rendezvous (Orbit Poros Lampung (1993), Jejak, Kumpulan Puisi Penyair Sumbagsel (BKKNI-Taman Budaya Jambi, 1993), Luka Liwa (Teater Potlot Palembang, 1993), Muaro (Taman Budaya jambi 1994), Pusaran Waktu (Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, 1994), Negeri Bayang-bayang (Festival Seni Surabaya, 1996), Mimbar Penyair Abad 21 (DKJ-TIM Jakarta, 1996), Antologi Puisi Indonesia (Angkasa Bandung, 1997), Amsal Sebuah Patung: Antologi Borobudur Award (Yayasan Gunungan Magelang, 1997), Angkatan 2000 dalam Kesusastraan Indonesia (Gramedia, 2000), Kolaborasi Nusantara (KPKPK-Gama Media, 2006), Antologi Puisi Nusantara: 142 Penyair Menuju Bulan (Kelompok Studi Sastra Banjarbaru, 2007). Novelnya Catatan Harian Maya dimuat secara bersambung di Harian Jambi Independent (2002). Cerpen, esai, dan kritik sastra yang ia tulis tersebar di berbagai media massa koran dan jurnal-jurnal ilmiah. Alamat Rumah: Jln. Kapt. Pattimura RT 34/RW02 No. 42, Kenali Besar, Kotabaru, Jambi 36129.<br />e-mail: <a href="mailto:dimasarikmihardja@yahoo.com">mailto:dimasarikmihardja@yahoo.com</a>.id. atau <a href="mailto:dimasarika@plasa.com">dimasarika@plasa.com</a>.<br />No HP 08127378325.<br /><br /><br /><br /><br />SAJAK-SAJAK NAHDIANSYAH ABDI<br /><br />Singkat<br /><br />Wajah-wajah kosong dan sibuk<br />yang sangat rentan dan menyimpan trauma<br />yang begitu teguh dalam larutan lupa<br />menggapai-gapai Sepi tanpa cela<br />Ia yang sangat kasmaran menyulut luka<br />Bertanya ia, bagaikan maut yang nelangsa:<br />“Kekasih dalam diri, sejatinya tak lama menanti.”<br /><br />Wow, apa artinya ini<br />Tubuh yang lembek, rumah yang rapuh<br />Perjalanan di luar nalar<br /><br />Bandara Adi sucipto, 7 mei 2007<br /><br /><br /><br />Malam Begini Ini<br /><br />Malam begini ini<br />Kekasih selalu datang<br />dari perjalanan yang lusuh<br />Ia menyanyikan kegelapan yang merdu<br />Atom yang berdenting<br />Tanganku tumbuh menjadi sayap yang lebar<br />Tubuhku hanya siluet yang bergetar:<br />solilokui yang abadi<br /><br /><br />Bersama<br /><br />Debu melumuri masa kecilku<br />dengan langit dan cakrawala warna kuning gading<br />Tawaku lepas, sinar matamu nampak rewel, aku selalu<br />menyikat gigiku tepat waktu<br />Meja makan telah tertata<br />Api di dapur membeku jadi kristal<br />Masa kecilku yang rada purba<br /><br /><br />Tapi Telah Kudengar Denting Hujan Di Atap<br /><br />Tapi telah kudengar denting hujan di atap<br />Tapi telah kudengar keputusasaan: mengerjap<br />Bola saljunya hanya tinggal rasa kepingin<br />dalam hambar tawa<br />dalam heroisme yang sia-sia<br />Luka mengena, terlalu telak ke kekasih terbuka<br />Wow, ia mendekat ia menjauh hampir sekonyol prasangka<br /><br />Di Lubuk Tak Berdasar<br /><br />Di lubuk tak berdasar<br />di mana tak ada sepi kecuali sepi penuh rahasia<br />Kekagetan akan berbunga sia-sia<br />penuh cabang berisi luka-luka<br />Tak ada akar yang membelit kuat di waktu<br />maupun di keseharian tubuh vis a vis jiwa<br />Pertempurannya berakhir sebelum aku mencuci muka<br /><br />Tentang Penulis<br />Nahdiansyah Abdi, sehari-harinya bekerja sebagai pegawai di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Banjarmasin. Tetapi ia masih tetap menyempatkan diri untuk berkarya, menyalurkan kegelisahan intelektualnya. Beberapa karyanya dipublikasikan dalam antologi pribadi maupun bersama. Ia juga termasuk salah satu nominator dalam lomba cipta puisi Aruh Sastra Kalimantan Selatan.<br /><br /><br /><br />SAJAK-SAJAK RATIH AYUNINGRUM<br />Senja<br />Senja kali ini lebih bijak<br />Mengutarakan kita harus segera beranjak<br />Sebab diri kita terlampau lelah memanjat kata<br />Mencuri potongan senja pada tiap kenangan<br /><br />Banjarmasin, Oktober 2005<br /><br />Epilog November<br />Hampir Desember<br />Kulihat kau mengusap hujan yang turun rintik-rintik<br />Hujan itu meluapi kenangan tentang kita<br />Saat tiada lagi kau perlukan kata-kata<br />Selain aku yang mencoba merenangi jejak perih yang kau tanam<br /><br />“Besok Desember” ucapmu tawar<br />Dan kita hanya bisa menagih janji yang kian bias dalam ruang waktu Banjarmasin, akhir November 2006<br /><br />Gerimis<br />Aku mengingatmu malam ini<br />Diantara gerimis yang curam<br />Melandai ke hatiku<br />Maret 2007<br /><br />Tentang Penulis<br />Ratih Ayuningrum Lahir di Kotabaru, 17 Juli 1984 Saat Ini Mahasiswa Pasca-Sarjana Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah FKIP Universitas Lambung Mangkurat Aktif menulis sejak SD dan ikut lomba kepengarangan. Namun, baru sejak awal 2003 mulai mempublikasikan karya-karya di media massa lokal. Selama ini tulisan-tulisan hanya sering untuk buletin kampus dan majalah dinding kampus. Sejak awal 2003-sekarang (2007) karya-karya puisi dan cerpen tersebar di beberapa media massa lokal seperi Radar Banjarmasin, Banjarmasin Post dan Serambi Ummah. Pernah menjadi wartawan tabloid “BISNIS” di Banjarmasin selama 2 tahun. Puisi yang berjudul “Kau Tidak Akan Pernah Tahu” termasuk dalam sepuluh terbaik nonperingkat Aruh Sastra Kalsel 2006 dan dibukukan dalam antologi bersama “Kau Tidak Akan Pernah Tahu Rahasia Sedih Tak Bersebab” Aruh Sastra Kalsel 2006. Cerpen berjudul “Epilog Seorang Wakil Terhormat” juga dibukukan dalam antologi yang sama. Ia pernah juara II Lomba Penulisan Cerpen Islami Klasifikasi Mahasiswa/Umum pada Semarak Maulid Nabi Bersama Generasi Islam KSI Al-Mizan Fakultas Hukum Unlam 2004 Banjarmasin- Juara III Penulisan Reportase Banjarmasin Komtek 2005 se-Kalimantan Selatan 2004.<br /><br /><br /><br />SAJAK-SAJAK HUDAN NUR<br />Pada diam ada kerinduan<br />( dalam sayup ada pertemuan )<br /><br />dalam nuansa alit menyeruakkan, kisah airmata bunga hitam di peluru kitab katedral bermahkota lilin sagita dengan jalan yang kutapaki ini berharap pula asaku untuk bisa menagih rindu berkharisma penuh gelora di gejolak semua keraguan yang pernah di permainkan oleh peristiwa namun jangan rampas ilalang tak tahu rupa di kisah pengkhianatan yang ditanam oleh bibir-bibir kelu berhasrat tinggi sebelum berpelukan dengan takdirnya<br /><br />15 Desember 2003<br /><br />Dalam Kepenatan Buluh Rinduku<br /><br />malampun berjalan dengan meteor berjuta tahun mengikuti larik kekaguman pada peraduan katub pesona yang ditebarkan dibalik kiblat rindu-rindu memaki nadiku dengan beragam rasa aneh nun jauh bersemayam di bawah seduhan plipur tabir penyejuk dahaga yang tak kunjung jera hingga akhirnya<br />15 Desember 2003<br /><br />Sedang Tidak<br /><br />kemarin sudah kubuktikan pada pelangi bahwa aku sudah tak pandai lagi mengucap kata barang selarik bahkan kecemasan hari mengundang ngilu melihat pertumbuhanku semakin lelap semakin malam kutengok ke atas langit membungkam kerinduannya mencacah asa sambil menghadang tuhan tersedu memutar kembali kaset irama laskar-laskar laut merah sehari sebelum keberangkatan senja ke ufuk timur aku mengirimkan sajak penghabisan ke madah ilalang tak ada jeda antara kelarutan dan bimbang tetap rasuk ke ragam ilusi<br /><br />Banjarmasin, 2006<br /><br />ADAKAH LAGI<br /><br />Sudah berlama tertanam kidung mimpi cerita saudagar tua yang mendambakan sri kandi lalu ia larut dalam kesentosaan semesta bunga tidur sekadar khayal yang sempat ada di hadapan jiwanya yang absurd kemudian berlama adakah lagi Sudah lima kurun terlampaui dengan siraman harapan semoga esok masih ada kidung mimpi lain yang selalu setia menemaninya menikmati keluasan semesta birunya langit dengan sepoi lembut sentuhan angin ataukah hanya pelampiasan angan yang tak jua berpeluk pada takdirnya Sudah berlama tumbuh kidung penyempurna nasib hidup seorang manusia yang pada akhirnya hanya meneguk air putih dengan tangan kirinya lalu adakah lagi yang dapat menjanjikan dirinya untuk kembali berlama menanti kidung mimpi yang menjumpai tidurnya menemani sejenak sempurnanya sebuah imajinasi?<br /><br />Banjarmasin, Mei 2007<br /><br />EPILOG PAGI<br />(ketika Banjarbaru baru membuka hari)<br />Enam langkah sudah Perisaimu berkecamuk dengan keringat di badan dan sekeping pigura berjuta mimpi<br /><br />Banjarbaru, april 2005<br /><br />Tentang penulis<br />Hudan Nur, lahir di Banjarbaru, 23 November 1985. mahasiswa FKIP UNLAM Banjarmasin. Aktif di beberapa organisasi, khususnya di bidang kepemudaan. Ia juga kerab mengikuti lomba menulis puisi. Terakhir, memenangkan Lomba Penulisan Cerpen dalam rangka Bulan Bahasa se-Kalimantan Selatan. Ia juga menulis artikelserta aktive di teater. Beberapa sanggar Banjarbaru pernah disinggahinya sewaktu ia duduk di bangku SMA. Namun ia lebih suka bermonolog. Dalam event-event bertajuk seni ia sering tampil sendiri membawakan musikalisasi puisi. Antologi pribadi: SI LAJANG dan TRAGEDI 3 NOVEMBER. Antologi Bersama: NARASI MATAHARI (Banjarbaru, 2002), NOTASI KOTA 24 JAM (Banjarbaru, 2003), BULAN DI TELAN KUTU (Banjarbaru, 2004), BUMI MENGGERUTU (Banjarbaru, 2005), DIMENSI (Banjarbaru, 2005) serta JEJAK TSUNAMI (Medan, 2005), 142 Penyair Menuju BUlan (antologi penyair Nusantara) Dalam menulis Hudan sering menggunakan nama pena K. Ariwa.<br /><br /><br /><br />SAJAK-SAJAK RAHMATIAH<br /><br />Bumi Yang Telah Beranjak<br /><br />Tanah ini sekarang gemar sekali menangis lubang matanya yang dalam acap mengirim gerimis hingga mendung tak lagi sempat berkaca di jendela.kita pun berlarian mengejar raungan masing-masing langit-langit itu ternyata tak jua bosan memburu simpanan air mata yang kau sembunyikan di laci meja. "ah, bila tuhan tak lagi punya rumah kita akan selalu menjelma menjadi orang-orang yang kehilangan wajah"bisikmu pada wangi tanah. Tanahku kini tempat segala kecemasan dipungut dari dahan aku menamakan pagi itu rasa sakit yang tak terpetakan. baunya yang masam tak akan hilang bertahun-tahun<br /><br />Banjarbaru, Juli 2006<br /><br />Hujan Yang Kesepian<br />:kepada nani<br /><br />Malam tertinggal begitu saja di lubang kunci seperti biasa Kesunyianpun berkumpul di ruang mata Hujan turun satu satu di jendela dan malam hanya sibuk saling menatap satu sama lain.<br />Banjarbaru,januari 2007<br /><br />Mercusuar<br />:kepada seorang kawan<br /><br />"Kau dan kau hanyalah lampu lampu jalan yang meminjam cahayaku" Ujarmu. Langit dan akubisu.<br />Banjarbaru,Nopember 2006<br /><br />Laron<br /><br />Malam mencabuti sayap sayapnya tanpa ampun Hidup berhenti pada satu kemungkinansebab ia bertemu cahaya. Banjarbaru,Januari 2007<br /><br />Cintaku Kepada-MU<br /><br />Masih kusisakan sebagian diriku untuk mengapungkan jasad jasadkuyang terus tumbuh di sepanjang sungai sungaiMU Banjarbaru,Januari 2007<br /><br />Tentang Penulis<br /><br />Rahmatiah, lahir di Nusa Tenggara Barat, menjelang remaja kemudian ia hijrah ke Propinsi Kalimantan Selatan. Alumnus sebuah Akademi Keparawatan ini mempublikasikan karya-karyanya di Harian Radar Banjarmasin, Dinamika, Majalah Sabili, Buletin Sastra Bandung serta tergabung dalam buku antologi 142 Penyair nusantara, Kau Tak akan pernah tau rahasia sedih tak bersebab.<br /><br /><br /><br /><br />SAJAK-SAJAK R. HAMSYAH<br /><br />Instrumentalia Laut<br /><br />angina genit. menancap di kerling<br />waktu kini kita<br />merupa<br />sekumpulan nama-nama.<br /><br />Carita:02:07<br /><br /><br />Ayat-Ayat Gerimis<br /><br />tak ada lagi gerimis<br />udara letih di sini<br />dan bumi kini diramaikan<br />bunyi klakson.<br />maafkan, bila narasi yang kusembunyikan<br />adalah darah dari ladang<br />luka kita, sungguh, kau tak akan pernah memahami<br />nyanyian belati yang menyelib pada catatan silam yang lebam.<br /><br />Pandeglang:01:11:07<br /><br />Tentang Penulis<br /><br />R. Hamsyah, lahir di Lampung 10 Oktober 1981 dari rahim kedua orang tua yang asli melayu Ogan Sumatera Selatan. Pernah bekerja sebagai jurnalis, sebelu kahirnya hijrah ke Jawa mengikuti alur nasib. Sejumlah puisi pernah dimuat Harian Lampung Post, Harian Satelit News, Badak Post, Majalah Sabili, Dinamika, Serta tergabung dalam antologi 142 Penyair Nusantara 2007. kini berada di Jawa, tidak memiliki tempat tinggal dan pekerjaan tetap.<br /><br /><br /><br /><br /><br />SAJAK-SAJAK FARHAN AL-FUADI<br /><br />Melodrama Palsu<br /><br />untuk sementara kita bilang ini<br />adalah melodrama tentang kita<br /><br />kau dan aku di meja makan lalu<br />tanpa scenario, tanpa sutradara.<br /><br />kau aktris bego dan aku actor lugu<br />oh, ini adalah melodrama palsu.<br /><br />Pandeglang, Agustus 2007<br /><br />Pagi Menipuku<br /><br />di sini, hawa dingin masih sibuk<br />padahal ini bukan subuh lagi?<br />menyapaku di setiap pagi.<br /><br />di kaki gunung karang<br />apakah karena nanti siang panas?<br />lantas menghiburku.<br /><br />pagi kemarau di sini<br />dinginnya sampai ke ubun-ubun.<br /><br />Pandeglang, Desember 2006<br /><br /><br />Dakwah Katak<br /><br />masihkah kau ingat<br />cerita nuh dan bahteranya?<br /><br />atau qorun yang di telan bumi<br />bersama hartanya?<br /><br />aku adalah figuran dalam semua kisah itu<br />aku adalah makhluk disirap-kutuk traumatik.<br /><br />Pandeglang, Maret 2007<br /><br />Tentang Penulis<br /><br />Farhan Al-Fuadi, aktif menulis di Surat Kabar Badak Post, karyanya juga pernah disiarkan di Majalah Sabili, Beberapa bulatin sastra di pondok pesantren Darussalam. Pria kelahiran Kerawang, Jawa Barat ini sedang menempuh pendidikan di IAIN Serang, Banten.KaTa-KaTahttp://www.blogger.com/profile/02582903641075657543noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4388390431061104089.post-14264959655813243972007-10-31T01:09:00.000-07:002007-10-31T01:36:45.180-07:00"Gerakan Primordial Kaum Pinggiran"Berawal dari lompatan kata-kata enteng yang berkelanjutan menjadi perkenalan Orang-orang pinggiran, sebut saja R. Hamsyah, Tb. Apin Suryadi dan Farhan kemudian dengan obrolan-obrolan enteng pula bermetamorfosis menjadi kesamaan pikiran dan ternyata kesamaan hobby dan ide. Ya, di sebuah emperan toko di seputar plaza Pandeglang pertemuan demi-demi pertemuan ini akhirnya terus terjadi, berawal dari tiga orang, di tempat ini kemudian semakin hari semakin bertambah pula menjadi sekumpulan kecil masyarakat kecewa yang akhirnya sepakat untuk membuat sebuah gubuk kretivitas yang bernama KOMUNITAS GUNUNG KARANG.<br /><br />Blog ini sengaja diciptakan untuk menampung masyarakat kreative yang merasa terisolir untuk mengkomunikasikan kegelisahan imajenasinya. Kami komunitas Gunung Karang Pandeglang, Banten memiliki kesamaan pikiran atas relitas yang menimpa kaum yang karya-karyanya senantiasa terpinggirkan oleh persaingan global.<br /><br />Akankah ide-ide besar anda kemudian terbunuh begitu saja hanya karena tidak adanya akses untuk menyampaikannya? Ataukah anda termasuk salah satu penulis yang karya-karyanya tak kunjung dimuat oleh media massa, (karena media massa tentulah akan selalu memprioritaskan kaum terkenal saja) jangan sampai anda kemudian menjadi sentimentil atau melarung karya-karya anda pada ranah pekuburan karya cipta. Kami mengundang anda untuk berkreativitas di sini, memuntahkan selaksa kata-kata dari relung terpenjara dalam diri anda. Mari berkarya! kirimkan tulis-tulisan anda berupa Cerpen, Puisi, Esai, Artikel atau Opini yang bermuatan universal. Kami tunggu di alamat E-mail: <a href="mailto:riduan_812000@yahoo.com">riduan_812000@yahoo.com</a>KaTa-KaTahttp://www.blogger.com/profile/02582903641075657543noreply@blogger.com0